Oleh: Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA.
Sebagai seorang muslim, kita pasti sudah sering mendengar ucapan sabar dan syukur. Hal tersebut seolah sudah menjadi kawan bagi kita dalam menghadapi suka duka perjalanan kehidupan yang diamanahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dewasa ini, acapkali kita mendengar nasihat tentang syukur, yang didasari pada firman Allah pada Qs. Ibrahim: 7, artinya sebagai berikut.
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (QS. Ibrahim: 7).
Dari ayat di atas, kita bisa pahami bahwasannya Allah memang Maha Penyayang lagi Maha Bijaksana. Dia menjanjikan untuk melipatgandakan kebahagiaan apabila kita mensyukuri nikmat dari-Nya. Adapun mengenai siksa-Nya yang pedih, kita juga diminta untuk terus waspada agar tidak terjerumus dalam kesengsaraan tersebut.
Mengenai hal itu, kita perlu ketahui bahwa makna ‘menambah (nikmat) kepadamu’ pada Qs. Ibrahim: 7, harus dipahami dengan baik. Jangan sampai kita menjadi bagian hamba yang menyalahartikan ayat Allah.
Adapun makna dari firman Allah bahwasannya ‘Allah akan melipatgandakan nikmat setelah manusia bersyukur’ ialah, Allah menambahkan kapasitas nikmat tersebut. Misalnya Allah akan melapangkan dada, meneguhkan pendirian, memutihkan jiwa, ataupun meluruskan jalan kita setelah bersyukur.
Kemudian jika dimisalkan kita sedang berbagi, kita tidak perlu khawatir bahwa tabungan akan berkurang. Karena dari berkurangnya tabungan tersebut, Allah tetap akan melipatgandakan kenikmatan diri dengan melapangkan jiwa kita, memudahkan semua urusan kita, atau meningkatkan kapasitas kebahagiaan kita.
Selanjutnya jika kita melihat lebih jauh, definisi syukur ternyata memiliki arti yang mendalam. Bahwasannya terdapat kategori khusus bagi seseorang agar bisa dikatakan bersyukur, diantaranya ialah melibatkan jiwa dan raganya untuk membuktikan.
Jadi, syukur itu bukan hanya sebatas memuji Tuhannya melalui lisan, melainkan menyertainya dengan berbuat kebaikan terhadap sesama.
Kategori selanjutnya ialah perihal tahmid, yaitu jika seseorang memuji Allah dengan mengakuinya dalam hati dan mengucapkannya dengan lisan, tanpa membuktikannya dengan tindakan.
Antara syukur ataupun tahmid, keduanya merupakan hal terpuji. Karena sebagai manusia, hakikatnya kita memang perlu senantiasa merasa berserah kepada Sang Pencipta, Allah subhanahu wa ta’ala.
Beralih pada dua hal terpuji di atas, ada sifat yang perlu kita hindari karena termasuk sifat tercela. Sifat tersebut disebut dengan tamaddah, atau suatu aktivitas memuji Allah dengan lisan, namun tidak melibatkan hati atau dukungan aksi yang positif.
Untuk dipahami, bahwa tamaddah sangat mengkhawatirkan, karena cenderung mengarahkan diri pada sifat golongan orang yang munafik. Allah berfirman pada Qs. An-Nisa: 145, artinya sebagai berikut.
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (Qs. An-Nisa: 145).
Menjauhi sikap tamaddah, marilah kita beralih menjadi seseorang dengan perilaku syakur, yaitu suatu prilaku mensyukuri segala ketentuan yang datang dari Allah, baik itu kebahagiaan, ataupun kekecewaan. Dalam tingkatan ini, kita dianjurkan untuk terus berprasangka baik kepada Allah. Bahwasannya semua ketetapan-Nya, memang baik untuk manusia itu sendiri.
Artikel ini bersumber dari ceramah KH Nasaruddin Umar dalam acara Tanam Kebaikan Ramadan 1442 Hijriah bersama Bank BTN, di Gambir, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.